TARIAN CIREBON DENGAN KEARIFANNYA
Kebudayaan Cirebon yang bukan Jawa dan bukan Sunda itu akhirnya
memiliki ciri khas sendiri. Yakni adanya keberanian untuk mengadopsi nilai lama
dengan nilai baru (saat itu) saat agama Islam mulai diajarkan Sunan Gunungjati.
Dalam pentas kesenian panggung, asimilasi budaya terlihat jelas. Nilai budaya
masyarakat pantai dipadukan dengan nilai agama. Tak heran jika kenyataan ini
mengundang nilai tambah yang patut disyukuri. Artinya postmodernis sudah
berlangsung dalam kesenian tradisi Cirebon. Keberanian seniman tradisi
memasukkan unsur baru (ajaran agama Islam) pada kesenian lokal agaknya sepadan
dengan nilai posmo.
Ø Tari Jaran Lumping
Tari Jaran
Lumping (https://djangki.wordpress.com)
Tari Jaran Lumping dahulu disebut juga Tari Jaran Bari dari kata
Birahi atau Kasmaran, karena mengajarkan apa dan bagaimana seharusnya kita
mencintai Allah dan Rasulnya. Oleh karena itu tarian Jaran Lumping digunakan
sebagai alat dalam mengembangkan agama Islam.
Yang menciptakan Jaran Lumping adalah Ki Jaga Naya dan Ki Ishak
dari Dana Laya Kecamatan weru, Kabupaten Cirebon. Waditra yang digunakan yaitu
bonang kecil, bonang Gede, panglima, Gendang, Tutukan, Gong, dan Kecrek. Sarana
lainnya Damar Jodog, Sesajen, Pedupaan, Bara Api/Aran dan Jaran Lumping 5 buah
yaitu Jaran Sembrani, Jaran Widusakti, Jaran Widujaya, Jaran Sekadiu. Busana
penari menggunakan ikat wulung gundel meled, udeng merah, sumping kantil dan
melati,selendang, rompi, celana sontok, kestagen atau bodong dan kain batik.
Ø Tari Tayuban
Tari Tayuban
(https://www.disparbud.jabarprov.go.id)
Tari Tayuban konon lahir di lingkungan kraton dan digunakan untuk
menghormati tamu-tamu agung juga digunakan untuk acara-acara penting seperti
pelakrama agung (perkawinan keluarga Sultan), tanggap warsa, peringatan ulang
tahun, papakan, atau sunatan putra dalem.
Tayuban kemudian menyebar dan berkembang di masyarakat dengan
pengaruh negatif baik datangnya dari luar maupun dari dalam. Waditra yang
digunakan adalah laras pelog, gendang, bedug, saron, bonang dsb. Wiyaga
berjumlah 15 orang. Busana Wiyaga bendo, baju taqwa, kain batik dan celana
sontok. Busana Ronggeng kembang goyang, melati suren, sanggung bokor, cinatok,
sangsangan, krestagen dan alat perhiasan.
Ø Tari Berokan
Tari Berokan
(https://abualkarim13.blogspot.com)
Tari Berokan atau Barongan adalah jenis kegiatan yang menggunakan
alat utama berokan atau barongan yaitu suatu bentuk tituan kepada binatang
singa dan tiruan badan Singa Duga yang dimainkan oleh seorang dalang yang
menyusup ke dalam tiruan tubuh raksasa sambil mengoceh dengan meniup terompet
yang disimpan di dalam mulut.
Fungsi kesenian ini adalah menyebarkan agama Islam di Cirebon
tempo dulu. Waditra yang digunakan adalah terbang, gong, bambu, terompet,
gendang dsb.
Ø Tari Topeng Tumenggung Magang
Diraja dan Tari Topeng Jinggananom Gaya Losari, Kabupaten Cirebon
Tarian ini dilatarbelakangi oleh kisah Tumenggung Magang Diraja
yang diutus untuk menaklukkan Jinggananom. Kedok yang harus digunakan oleh
tokoh Tumenggung adalah Slasi, Drodos dan Sanggan. Sementara tokoh Jinggananom
memakai kedok Tatag Prekicil, Peloran dan Mimis.
Kedua tarian ini berkarakter putra bersifat gagah dengan ciri-ciri
kualitas tenaga kuat dan jangkauan ruang yang luas dengan tempo cepat. Gending
yang mengiringi tari Tumenggung Magang Diraja adalah Gending Tumenggung atau
Barlen, sedangkan tari Jinggananom diiringi dengan musik Bendrong.
Kebudayaan merupakan suatu hasil karya manusia yang berupa seni,
adat, keyakinan, dan pengetahuan. Pada umumnya kebanyakan orang mendefinisikan
kebudayaan berupa sebuab kesenian dan adat istiadat yang dimiliki oleh suatu
daerah tertentu, salah satu dari bentuk kebudayaan yang sering kita lihat
adalah seni tari yang mana disajikan dengan berbagai gerakan yang
indah dan biasanya memiliki pesan tertentu yang akan disampaikan pada orang
yang melihatnya.
Salah satu kesenian yang ada
di Cirebon adalah seni tari yang disebut dengan tari
sintren, kesenian tari ini merupakan seni tari yang khas dari
daerah Cirebon. Seni tari sintren sendiri mengandung unsur magis sehingga
tidak boleh untuk dibuat mainan, tari sintren ini biasanya dibawakan oleh
seorang wanita yang mengenakan kostum khusus dan berkacamata hitam, sebelum
melakukan tarian ini biasanya sang penari akan masuk ke dalam sebuah kurungan yang
ditutup oleh kain.
Apa Itu Sintren ?
Tarian sintren merupakan sebuah seni tari
tradisional dari Cirebon yang mengandung unsur magis, nama sintren
yang ada pada tarian ini ternyata merupakan gabungan dari dua kata yakni si dan
tren yang mana dalam bahasa Jawa kata si merupakan sebuah ungkapan panggilan
yang memiliki arti ia atau dia, sedangkan kata tren berasal dari kata tri atau
putri sehingga sintren memiliki arti si putri atau sang penari.
Sejarah Sintren :
Asal mula nama sintren salah satunya berasal dari
kata pertanyaan melalui syair-syair yang perlu dipikirkan jawabannya) maksudnya
adalah menyindir dengan menggunakan sajak-sajak atau syair-syair,
Pada awalnya sebelum terbentuk struktur sintren
yang ada seperti sekarang ini yang berupa tarian dengan wanita ditengahnya,
dahulu awal kesenian ini dipercaya dimulai dengan aktifitas berkumpulnya para
pemuda yang saling bercerita dan memberikan semangat satu sama lain terutama
setelah kekalahan besar pada perang Besar Cirebon yang berakhir
sekitar tahun 1818, dalam cerita lisan masyarakat Indramayu dikenal nama Seca
Branti yang dipercaya sebagai abdi pangeran Diponegoro yang berhasil
lolos dari Belanda setelah kekalahan perang Diponegoro yang berakhir
pada tahun 1830, dikatakan bahwa Seca Branti melarikan diri ke
wilayah Indramayuu disana dia bergaul dengan para pemuda dan suka
membacakan sajak-sajak perjuangan, pada musim panen tiba disaat para pemuda
sedang banyak berkumpul, Seca Branti kemudian ikut bergabung dan menyanyikan
sajak-sajak perjuangannya.
Aktifitas menyanyikan sajak-sajak ini kemudian
diketahui oleh penjajah Belanda dan kemudian dilarang, Belanda hanya
mengizinkan adanya sesuatu kegiatan yang diisi dengan pesta, wanita penghibur
dan minuman keras. Kegiatan-kegiatan ini juga berusaha Belanda lakukan di dalam
keraton-keraton Cirebon sebelum berakhirnya perang Besar Cirebonn, bahkan
para prajurit Belanda yang berada di kota Cirebonn senang dengan
kegiatan mabuk-mabukan diiringi dengan para penari Tayub. Hal inilah yang
kemudian melatarbelakangi digunakannya penari wanita sebagai kedok (bahasa
Indonesia : topeng) dalam pertunjukannya sementara fokus utamanya tetaplah
syair-syair yang diucapkan oleh dalang sintren yang didengarkan oleh para
pemuda yang mengelilinginya, berlatih untuk memupuk rasa perjuangan. Oleh
karenanya pada tahap ini sebagian kalangan menterjemahkan sintren sebagai sinyo (bahasa
Indonesia : pemuda) dan trennen (bahasa
Indonesia : berlatih) yang artinya pemuda yang sedang berlatih.
Pada tahap ini pola-pola sajak yang digunakan
oleh para dalang sintren tidak berubah dari sajak-sajak tentang perjuangan,
perbedaannya adalah digunakannya ronggeng buyung (penari
wanita) pada pertunjukannya yang bertujuan untuk mengelabui penjajah Belanda.
Selain dari kisah perjuangan pemuda-pemuda
Cirebon lewat syair-syair penyemangat dalam pagelaran sintren, kesenian sintren
di Cirebon juga menampilkan lirik-lirik legenda romantisme antara Selasih dan
Sulandana yang populer dikalangan masyarakat suku Jawa, hal tersebut
dikarenakan letak Cirebon yang berdekatan langsung dengan tanah budaya Jawa
mengakibatkan tingginya interaksi sosial antara suku.
Persyaratan Penari :
Untuk menjadi seorang penari sintren maka sang
penari tersebut harus dalam keadaan suci dan bersih, sebelum melakukan
pementasan maka sang penari harus melakukan puasa terlebih dahulu dan menjaga
agar tidak berbuat dosa, hal ini ditujukan agar roh tidak akan mengalami
kesulitan untuk masuk dalam tubuh penari.
1 Komentar
Berguna sekali infonya
BalasHapus