MENJADIKAN SENI TARI SEBAGAI PELUANG BISNIS

Era ekonomi kreatif memberi peluang untuk mengangkat seni tradisi. Di sisi lain, seni tradisi menjadi aset bagi pengembangan ekonomi kreatif. Perkawinan kepentingan ini memungkinkan eksplorasi aspek estetis, pelestarian, dan ekonomi seni tradisi. Meski begitu, saat ini keberadaan seni tradisi masih dipandang sebelah mata dan belum mendapat apresiasi yang cukup dari masyarakat. Hal ini mengemuka dalam konferensi pers dalam rangka "Pergelaran Mahakarya Seni Tradisi" yang dihadiri Direktur Jenderal Ekonomi Kreatif Berbasis Media dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenpar dan EK) Harry Waluyo, Direktur Pengembangan Seni Pertunjukan dan Industri Musik Kemenpar dan EK Juju Masunah, dan Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar I Wayan Dibia di Kota Solo, Jawa Tengah, Minggu (9/12/2012) malam.   "Seni tradisi harus dilihat secara kontekstual dengan kekinian sehingga nilai-nilainya tidak berubah, tetapi kemasannya bisa saja berubah. Ini agar seni tradisi tetap mampu lestari," kata Harry.   Juju mengatakan, seni tradisi sebenarnya mampu tetap hidup menyesuaikan diri dengan perubahan masa yang dilewatinya. Meski begitu, diakuinya, seni tradisi tetap butuh stimulus dari pemerintah, khususnya seni tradisi unggulan yang jarang ditampilkan karena dulunya merupakan konsumsi terbatas di kalangan kerajaan atau keraton.   "Untuk itu, kami menyelenggarakan Pergelaran Mahakarya Seni Tradisi yang menampilkan seni tradisi unggulan. Ini agar seni tradisi bisa dikenal dan diapresiasi masyarakat. Seniman seni tradisi juga bisa berinteraksi dengan pemangku kepentingan terkait," tutur Juju.   Dibia mengatakan, sebenarnya seni tradisi merupakan inspirasi kreatif yang mengandung nilai-nilai budaya yang tidak akan ada habisnya digali. Namun, masyarakat umum masih memandang seni tradisi sebagai sesuatu yang usang dan kuno. Hal ini, menurut dia, karena masih ada kesenjangan informasi tentang seni tradisi. Literatur ringan tentang seni tradisi yang mudah dipahami masyarakat masih sangat terbatas.   Dibia menambahkan, seni tradisi juga masih dihargai rendah dari sisi ekonomi. Misalnya, pertunjukan tari kecak yang dibawakan 150 orang dihargai lebih rendah ketimbang penampilan band dengan tiga personel. "Ini jadi tantangan bagaimana seni tradisi sebagai hasil olah kreatif bisa bernilai jual ekonomi tinggi," kata Dibia.   Pergelaran Mahakarya Seni Tradisi digelar di Pendopo Ageng ISI Surakarta, Minggu (9/12/2012) malam. Ada tujuh karya yang akan ditampilkan, yakni Tari Bedoyo Bedhah Madiun dan Solo Konser Gamelan dari Pura Mangkunegaran, Solo, Tari Pakarena dari Makassar, Tari Srimpi Renggowati dari Yogyakarta, Tari Piriang di Ateh Kato dari Padang, Tari Topeng Adiningrum dari Cirebon, dan Tari Baris Gede dari Bali.
Indonesia mempunyai kekayaan dan keanekaragaman seni dan tradisi pertunjukan, seperti wayang, teater, tari, dan lain sebagainya. Seni pertunjukan dari masing-masing daerah sudah tersebar secara sporadis ke seluruh wilayah di Indonesia. Banyaknya jumlah seni pertunjukan baik tradisi maupun kontemporer yang selama ini dikreasikan, dikembangkan, dan dipromosikan, telah mendapatkan apresiasi dunia international.

Peran pemerintah tentu sangat diperlukan, terutama dalam menentukan regulasi yang komprehensif untuk mendorong sub sektor seni pertunjukan ini supaya lebih berkembang. Tak hanya itu, peran pemerintah dalam menfasilitasi pembangunan gedung atau tempat pertunjukan yang representatif dan bisa diakses oleh semua lapisan masyarakat juga mutlak diperlukan.

Sebagai lembaga pemerintah, Bekraf akan mendukung perkembangan sub sektor seni pertunjukan. Bekraf akan menyediakan fasilitasi regulasi, pembangunan tempat pertunjukan, fasilitasi pembentukan performing art board/council untuk memetakan platform dan menjaga standar seni pertunjukan, festival-festival pertunjukan seni, dan lain sebagainya. Bekraf optimistis sub sektor ini bisa berkembang secara maksimal. 
Tampak menggiurkan, tapi risikonya tak kecil. Saat konser yang digelar gagal, aset pribadi pun bisa ikut ludes demi menutupi kerugian. Tantangan nonteknis pun bermunculan.
Salah satu yang memengaruhi keberlangsungan pertunjukan musik, adalah larangan terhadap industri rokok untuk mendanai konser sesuai Peraturan Pemerintah No. 109/2012, dan persaingan dengan promotor asing yang beroperasi di Tanah Air.
Seperti dijelaskan Eki Puradiredja, awalnya seluruh biaya produksi Java Jazz dapat ditutup oleh sponsor dari industri rokok. Sementara laba penjualan tiket menjadi bonus tambahan pendapatan.
"Sponsor besar itu kan rokok, telekomunikasi dan perbankan. Rokok dulu jauh paling besar. Pada zaman rokok masih ada, it is all good. Tapi (sekarang) itu banyak yang rugi karena harga artis dan produksi naik terus tapi uang dari sponsor segitu saja," ujar Eki, Senin (6/11/2017).
Hal yang sama dialami oleh David Karto selaku penggagas sekaligus Festival Director Synchronize Fest yang bisa menghadirkan lebih dari 100 musikus. Ia mengaku membutuhkan kisaran Rp10 miliar hingga Rp12 miliar untuk menggelar konser musik lokal selama tiga hari.
Festival Synchronize mampu menyetor pajak ke pemerintah daerah dari penjualan tiket sebanyak 42 ribu lembar. Tiket harian dijual dengan harga Rp190 ribu sementara tiket terusan selama tiga hari dijual dengan harga Rp345 ribu.
Tak hanya tiket, festival yang terakhir berlangsung pada 6-8 Oktober 2017 ini juga menghidupkan pundi-pundi ekonomi sejumlah sektor lain seperti makanan dan minuman.
Sementara pengeluaran terbanyak tercatat pada sisi produksi dan artis senilai 40 persen, disusul promosi sebanyak 30 persen. Untuk menutup pengeluaran tersebut, David mengharapkan penjualan tiket dari penonton bisa menutup 70 persen total pengeluaran.
Realitanya, promotor hanya mampu menutup pengeluaran 40 persen dari alokasi penjualan tiket. Akhirnya, untuk pengeluaran artis pihaknya mengaku dibantu oleh Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), sedangkan sisa pengeluaran ditopang dari sponsor.
David pun tak hilang akal dengan adanya aturan larangan sponsor dari industri rokok. "Salah satu brand rokok membeli booth di konser kami," ucapnya, Kamis (16/11).
Sementara itu, pihak Java Jazz punya strategi lain. Lobi dengan para artis dimanfaatkan untuk meminimalisir pengeluaran. Permintaan artis yang terlampau sulit untuk dipenuhi misalnya, atau jumlah kru yang digandeng oleh artis.
Untuk artis dengan lima personel, Eki bercerita, pihaknya hanya mampu mengakomodasi maksimal sepuluh dari 15 orang kru yang diajukan artis.
"Masalah yang ada sebenarnya masalah teknis dan itu bisa diatasi kalau non-teknisnya jalan, yaitu human relationship dan komunikasi. Dengan pendekatan personal, dari biaya 100 persen bisa dipangkas hingga 40 persen," ujarnya.
Description: Presiden Joko Widodo (kanan) dan Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), Triawan Munaf, saat turut menyaksikan festival Synchronize (7/10/2017) 
Presiden Joko Widodo (kanan) dan Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), Triawan Munaf, saat turut menyaksikan festival Synchronize (7/10/2017) Biro Pers dan Media Istana
Proteksi sumber daya lokal
Tak hanya masalah sponsor, tantangan juga muncul dari persaingan dengan promotor asing. Live Nation masuk ke Indonesia menggandeng promotor Java Festival Production melalui sebuah perusahaan joint ventura, PT Live Nation Indonesia.
Perusahaan ini bisa mendapat izin penanaman modal asing melalui pendirian perseroan terbatas yang dilakukan dengan pembagian saham pada saat pendirian, merujuk pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
Dalam beleid tersebut disebutkan perusahaan harus mengutamakan tenaga kerja Indonesia, meski tak disebutkan berapa persentasenya.
Namun Eki berharap pemerintah lebih tegas melindungi modal dan juga tenaga kerja Indonesia. Terkait usulan Eki, Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) yang menjadi induk dari pengembangan industri kreatif mengaku tak mampu mengakomodir.
"Kami fokus ke industri hilir dan bukan di hulu. Bekraf hanya menyentuh brand dan bagaimana mengekspansi. Dalam Perpres Bekraf tegas, tugas kita adalah akselerasi nilai tambah ekonomi kreatif, kalau nilai tambah itu hilir," kata Wakil Kepala Bekraf, Ricky Pesik, saat ditemui Beritagar.id, Kamis (23/11/2017).
Perlindungan dari sisi tarif pajak sebenarnya sudah muncul. Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No. 3/2015 tentang Pajak Hiburan tak memungut pajak untuk pagelaran kesenian, musik, tari dan/atau busana yang berkelas lokal atau tradisional.
Tarif ini berbeda untuk kegiatan serupa berkelas nasional, karena "hanya" dipungut pajak sebesar 5 persen. Sedangkan untuk kelas internasional, tarifnya mencapai 15 persen.