Awal Kehidupan Jaipong


Awal Kehidupan Jaipongan

Istilah Jaipongan baru dipergunakan pada tahun 1978, ketika Gugum Gumbira membuat karyanya yang diberi nama Keser Bojong. Pola gerak maupun lagu dalam Keser Bojong masih menggunakan pola Ketuk Tilu, dengan mengambil esensi gerak pencak dan dari esensi Tari Rakyat lainnya (Kurniati, 1995: 50). Tarian ini merupakan jenis tari tunggal, namun dapat disajikan secara tunggal maupun kelompok. Tarian ini lebih dikenal dengan tari Keser Bojong, sementara Daun Pulus Keser Bojong itu sendiri adalah nama lagu dari iringan tariannya yang dibuat khusus dalam perpaduan vokal dan instrumentalia. Elemen koreografinya antara lain ada adeg-adeg angin-angin, kepret jedag, mincid girimis, yuyukangkang, waliwis mandi, dan lain-lain.


Keser Bojong pertama kali disajikan oleh dua orang yaitu Tati Saleh dan Yetty Mamat. Sejak itu, Keser Bojong kerap mengisi acara-acara pertunjukan di mana-mana. Kemudian, pada awal tahun 1980 tarian ini disajikan oleh tiga orang penari yaitu Tati Saleh, Yetty Mamat, dan Elly Somaly dalam acara “Malam Sejuta Bintang” bertempat di Balai Sidang Senayan Jakarta. Pertunjukannya mendapat sambutan yang antusis (Dasef, wawancara, Bogor, 12 Oktober 2011).
Di satu sisi, sajian tersebut menuai protes dari berbagai kalangan masyarakat. Banyak yang menganggap bahwa dalam Tari Keser Bojong terdapat unsur erotisme, terutama dengan mencuatnya unsur ”3G” (gitek, geol, dan goyang). Reaksi masyarakat dari berbagai kalangan mengenai sajian tari Jaipongan sangat luar biasa. Di sisi lain, Jaipongan disambut hangat oleh masyarakat terutama oleh masyarakat menengah ke bawah. Masyarakat Sunda berbondong-bondong ingin mempelajarinya. Sambutan demi sambutan antara yang pro dan kontra terdengar di mana-mana.

Ditengah meruncingnya tanggapan dan polemik dari masyarakat, tokoh kesenian dan kaum terpelajar melalui media massa, masyarakat golongan bawah menyambutnya dengan penuh gairah. Dan ramai memeperbincangkannya. Dari obrolan warung kopi sampai kepada saresehan yang diadakan oleh para pejabat (Suyudi, Pikiran Rakyat, 18 Januari 1984, hlm. 1). Seperti yang dilakukan oleh Bappeda Jawa Barat yang antusias mewadahi acara saresehan tentang Jaipongan. Judul tulisan dalam Pikiran Rakyat tersebut sangat menggelitik, “Adakah Tiga “G” di sana ? Maka Tembuslah Jaipongan sampai ke Bappeda Jabar: Melibatkan para teknokrat dan Politisi. Saresehan tersebut dilakukan karena hebohnya masalah tiga “G” yang di cuatkan oleh media. Pada umumnya para pembicara dalam saresehan tersebut menyambut baik dengan adanya Jaipongan. Menurut Gugum Gumbira, mengatakan, sebenarnya tiga “G” dalam Jaipongan itu tidak ada, yang ada justru dalam Ketuk Tilu seperti keplok cendol, uyeg, dan lain-lain. Gerakan pinggul dalam Jaipongan muncul secara alamiah yang diakibatkan dari teknik gerakan kaki, kalaulah tampak bergoyang maksudnya tiada lain dari pernyataan keluwesan seorang wanita (Gumbira dalam Suyudi, Pikiran Rakyat, 18 Januari 1984, hlm. 1).

Jaipongan disambut hangat oleh masyarakat Priangan, karena selain mereka merasa akrab dengan kesenian tersebut juga mereka merasa bahwa Jaipongan menjadi milik pribadi. Situasi dan kondisi budaya saat itu sedang mengalami perubahan. Ketika perubahan budaya (cultural dinamic) terjadi, biasanya disertai kritik, konflik, dan perubahan nilai-nilai lama, lalu menyeleweng dari hasil yang telah dicapai, ataupun membawa serta penghalusan warisan budaya dan peningkatan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya (Bakker, 1994: 115). Hal ini terjadi ketika Jaipongan muncul, Jaipongan dianggap sebagai seni yang mengeksploitasi erorisme dan lain-lain. Bila merujuk pada pendapat Bakker di atas sangatlah wajar fenomena itu terjadi. Kendatipun demikian, dalam perkembangannya ternyata Jaipongan menjadi sebuah karya yang dielu-elukan karena telah memberi kontribusi yang banyak terhadap kehidupan berkesenian masyarakat tatar Sunda.

Pada tahun 1978, Gugum Gumbira juga melahirkan tarian berpasangan yaitu Rendeng Bojong. Kemudian tahun 1979 melahirkan pula tari Kuntul Mangut yang ditarikan secara kelompok. Pada tahun 1980 memunculkan tari Setra Sari dan Toka-Toka. Antara tahun 1978 sampai dengan tahun 1980, masyarakat masih membaurkan menyatakan sajian tersebut antara Ketuk Tilu dan Jaipongan. Berdasarkan sumber yang ada, pada umumnya mereka masih menyebut Ketuk Tilu. Seperti yang terdapat dalam Pikiran Rakyat berjudul “Wali kota Bandung Berketuk Tilu”. Dalam keterangan gambarnya disebutkan “Walikota Bdg, H. Husen Wangsaatdja, ikut berketuk tilu dengan para penari dalam hiburan di Aula Kodam VI/Slw. Pertemuan Ramah Tamah antara Pangdam VI, dengan para Korps Cacad Veteran, Warakauri, Pepabri. Dll” (Pikiran Rakyat, 17 Mei 1980, hlm. 2). Contoh lain ada tulisan yang berjudul “Di Bar-Bar & Restoran Mewah, selain Berdisco: Kesenian Sunda Ketuk Tilu mengisi Hiburan Tutup Taun” (Pikiran Rakyat, 4 Januari 1980, hlm. 3), dan masih bayak lagi. Padahal saat itu istilah Jaipongan sudah digulirkan.

Jaipongan yang identik dengan kehidupan rakyat kecil kini sanggup menembus berbagai lapisan masyarakat dari berbagai tingkat sosial. Musik Sunda dengan pukulan yang khas terdengar di mana-mana. Anak-anak, remaja, dan orang tua, baik yang emperan maupun gedongan nyaris tidak dapat menghindarkan diri dari demam Jaipong. Mereka larut dalam hentakan-hentakan ritme kendang. Irama segar ciri khas kaleran begitu merangsang untuk bergerak. Kursus Jaipongan pun menyebar hampir di setiap RW, seakan-akan mereka telah menemukan kepribadiannya. Mereka juga menyadari bahwa kegiatan berbudaya pada saat itu dalam bentuk kesenian yang digalakkannya tidak memenuhi citra rakyat (Suyudi, Pikiran Rakyat, 18 Januari 1984, hlm. 1).

Melihat antusiasnya masyarakat terhadap Jaipongan, maka Gugum Gumbira mulai membentuk Jugala Grup sebagai naungan untuk mewadahi tempat berlatihnya masyarakat yang ingin mempelajari Jaipongan. Grup ini berdiri tanggal 19 Mei 1976, untuk menggantikan nama Grup Dewi Pramanik yang telah didirikan sepuluh tahun sebelumnya. Grup ini bergerak dalam bidang Jaipongan sebagai pengembang seni Ketuk Tilu. Jugala juga merupakan sebuah perusahaan Studio Rekaman. Bahkan sebuah berita dalam Pikiran Rakyat menyebutkan bahwa “Jugala seolah-olah memproklamirkan diri sebagai perekam ketuk tilu”. (Pikiran Rakyat, 6 Desember 1978, hlm. 5). Tujuan didirikannya Grup Jugala adalah untuk mengembangkan kesenian Sunda, khususnya Jaipongan supaya lebih dikenal dan disukai masyarakat. Selain itu, juga untuk mengadakan kaderisasi yang diarahkan pada pendidikan seni. Untuk menunjang tujuan ini tahun mulai tahun 1980 Gugum Gumbira mendirikan padepokan di Bandung, Jakarta, Sumedang, Ciamis, Bogor, Sukabumi, Tasik, dan lain-lain.

Pada tahun 1978, ketika Jaipongan mulai populer, pengusaha-pengusaha pub memanfaatkan situasi untuk meraih keuntungan dalam bidang itu. Menjamurlah sanggar-sanggar tari sebagai penyedia jasa hiburan dengan menyajikan Jaipongan/Ketuk Tilu sebagai materi hiburannya. Di daerah Tegal Lega, Cicadas, bahkan di seputar Alun-alun Bandung yaitu di jl. Dalem Kaum, sanggar-sanggar tari tersebut ramai dikunjungi tamu-tamu penggemar Ketuk Tilu/Jaipongan. Merebaknya sanggar-sanggar Tari tersebut malah menurunkan nilai Jaipongan itu sendiri, yang sudah susah payah diangkat oleh Gugum Gumbira menjadi tari pertunjukan yang bernilai. Baik nilai dari citra penari maupun nilai estetik dalam sebuah garapan tari. Citra penari kembali dinodai dengan perilaku yang kurang baik. Ada keresahan dalam masyarakat, Us Tiarsa (1978: 1) mengungkapkan keresahan itu dalam sebuah tulisan di Pikiran Rakyat dengan judul tulisan “Alami Penurunan Nilai yang Sangat Drastis: Tari Ketuk Tilu Makin Digemari, dari “lumpur” naek ke “Salon”.

Ketika Gugum Gumbira gencar membuat tarian Jaipongan yang semakin ditingkatkan mutunya, orang-orang yang tidak bertanggung jawab malah menurunkan nilai Jaipongan. Popularitas Jaipongan semakin menanjak, apalagi setelah diekspos dalam beberapa media cetak. Demikian halnya ketika Jaipongan ditayangkan di TVRI Jakarta pada tahun 1980. Imbasnya, nama Gugum Gumbira semakin dikenal masyarakat. Dalam waktu yang relatif singkat nama Gugum mencuat sejalan dengan mencuatnya Jaipongan ke pentas dunia tari di tanah Air. Nama Gugum serta merta telah disejajarkan dengan para koreografer pendahulunya seperti dengan Huriah Adam, Bagong Kusudiardjo, dan lain-lain.


sumber: http://www.eenherdiani.net/2016/08/jaipongan-proses-kreasi-dan.html

Posting Komentar

0 Komentar